Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga
Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
Ditulis pada 17
Januari 2008 oleh orang terlupakan
Oleh edya mardiana BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat memmbingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnyadi sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyi Ratu Mas Rara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walng Sungsang), Rara santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyi Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyi Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Sidiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Djati daerah gunung Djati (Syeikh Nur Djati). Setelah Syeikh Nurul Djati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Djati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyi Rara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyi Rara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samdullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang-Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian darah pemukiman baru itu diberi nama
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah mesjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyi Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyi Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke
Mendengar berdirinya kerajaan baru di
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyi Mas Larasantang dan Kian santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati). Ia dimakamkan di gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyaweran; Sunda) Sunan Gunung Djati.
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syeikh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah
Mula-mula Kian Santang mengIslamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan
Ketika Faletehan naik tahta di
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Kujang; Ajimat Raja Pasundan
ebagai informasi gratis mengenai senjata tradisional masyarakat budaya Indonesia
kedua adalah Kujang, ya kujang adalah salah satu senjata tradisional masyarakat
sunda, yang memiliki nilai budaya yang cukup diperhitungkan oleh para pengamat
budaya. Kujang satu-satunya senjata yang hanya dimiliki oleh masyarakat sunda,
untuk itu marilah kita ketahui lebih jauh senjata yang satu ini.
Dengan tetap menyisip pesan; tersaji bukan untuk dipuji apalagi dihina
melainkan tersaji untuk diketahui dan diperbaiki.
Dari judulnya sudah terbersit dalam ingatan bahwa kujang adalah senjata
tradisional provinsi Jawa Barat. Senjata ini kenapa dikenal dengan nama Kujang,
karena hampir mirip Bentuknya dengan sabit atau celurit. Namun, ada kelainan
pada bagian punggungnya yang berlubang. Mulanya senjata ini dipergunakan pada
abad ke-4 sebagai alat kebutuhan pertanian. Akan tetapi pada pada abad ke-9
masehi, nilai kujang menjadi sakral. Pada masa ini, kujang dipergunakan sebagai
senjata pusaka oleh Raja-raja di tanah Pasundan. Senjata ini diyakini memiliki
kekuatan magis, dan sanggup memberi wibawa dan kesaktian bagi pemiliknya.
Kujang adalah senjata yang penuh dengan misteri. Dikatakan demikian
karena banyak yang meyakini di dalam Kujang terdapat sebuah kekuatan magis dan
sakral. Bagi kebanyakan
orang-orang Sunda, Kujang dianggap tak sekadar senjata biasa. Melainkan senjata
yang memiliki “kekuatan lain” di luar nalar manusia. Bagi orang-orang Sunda
yang tak meyakini adanya kekuatan lain (gaib) dibalik Kujang pun, pasti akan
memperlakukan Kujang dengan istimewa. Setidaknya menghargai Kujang sebagai
hiasan rumah, bahkan cinderamata. Di sinilah nilai kewibawaan senjata Kujang dibuktikan.
Kujang memang memiliki nilai-nilai filosofi bagi orang-orang Sunda Kuno.
Dan proses penciptaannya sangat berkait erat dengan kebutuhan akan kekuatan
lain dari sebuah senjata. Muasal Kujang sendiri sebenarnya terinspirasi dari
sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara luas pada
abad ke-4 sampai dengan abadke-7 Masehi. Ketika itu bentuknya lebih mendekati
figure arit atau celurit. Barulah pada abad ke-9, wujud Kujang mulai berwujud
seperti yang kita lihat sekarang. Sejak itulah image masyarakat soal Kujang
telah berubah.
Azimat Raja-Raja
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam
sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu
Kudo Lalean. Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja
dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu
ketika, Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang
prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini
dipergunakan sebagai alat pertanian.
Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip
dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini.
Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu
Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau
seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar
soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu
Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya
didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang
ada dalam pikiran Kudo Lalean.
Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan
magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah
senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya
unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah
karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3
lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada
generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.
Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk
menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang
dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan.
Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga
aspek Ketuhanan
dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan
menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga
diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain
Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang
Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan,
berlokasi di Barat.
Berubah Bentuk
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model
yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang
telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya
dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang, yang berkeinginan
meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu
dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran
Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana
stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah,
maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.
Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata
pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model
terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada
Islam dan ajarannya. Lima
lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini
melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang
menggambarkan paduan dua gaya
yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang
sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan
tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum
bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja
dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang
sebagai mendekorasi rumah.
Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan,
kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh
dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata
pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau
larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri
diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan
kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa
kurang.(Waulahu’alam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar