Umat Islam masa sekarang ini banyak
yang kehilangan arah dan tempat pijakan, tidak tahu dari mana harus memulai.
Mereka terpuruk dan ingin cepat bangkit dari ketertinggalannya. Hal tersebut
tampak dari semangat yang kadang berlebihan dengan diiringi emosi yang tinggi,
sehingga hal itu memudahkan musuh-musuh Islam untuk mensiasati dan menjadikan
umat Islam sebagai kaum teroris dan berbagai kesan kurang baik lainnya. Hal ini
harus diakui merupakan keteledoran umat Islam dalam melaksanakan ajaran dengan
pengertian yang keliru. Islam harus kembali kepada hati yang suci, yang dalam
firman Allah dikatakan ...."yang mampu memuat Dzat-Ku". Dengan
demikian seharusnya manusia akan berkata-kata dengan Rab-nya tentang hidup,
tentang ilmu, tentang informasi dan rencana-rencana untuk menghadapi semua
permasalahan di dunia maupun di akhirat. Bukankah Allah berjanji akan
melindungi seorang mukmin dengan mengalahkan sepuluh orang musuh?. Kaum yang
sedikit dengan kekuatan spiritual yang luar biasa mampu mengalahkan perang
badar yang dahsyat. Nabi Musa dengan keteguhannya dalam bertauhid mampu
mengalahkan Raja Fir'aun. Dan masih banyak lagi pejuang-pejuang sahid kita
dalam menghadapi musuh dengan tetap teguh pada jalan tauhid dan komunikasi kepada
Allah Yang Agung.
Kita sadar bahwa begitu agungnya Al
Qur'an, dan begitu piciknya kita dalam memahami syariat, sehingga kita lihat
ummat Islam sekarang terpuruk dan saling menyalahkan. Kita lihat pula gerakan
atau harokah-harokah Islam muncul dimana-mana dengan berbagai bentuk penawaran
berupa konsep keIslaman yang lebih murni. Namun apa yang terjadi, kenyataannya
mereka masih sangat rapuh sehingga antara mereka masih mengadakan adu otot
dikhalayak ramai bahkan seperti anak kecil saling cemooh dan masing-masing
pihak merasa yang paling benar dan Islami. Satu hal yang belum ada dalam jiwa
ummat adalah kelembutan hati akibat jauhnya dari ingat kepada Allah, ketika
memulai suatu tindakan bukan dilandasi karena Allah, serta kurang siapnya kita
dalam menembus hati-hati yang panas dan gersang dengan sapaan jiwa yang manis
penuh kasih. Kita belum memiliki keberanian untuk mengatakan akulah yang salah
dan terimakasih atas nasihatmu. Padahal untuk hal seperti itu Allah sudah
memberikan peringatan seperti yang tercermin dalam surat Al 'Ashr ayat 3 :
"Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasehat menasehati supaya menta'ati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kebenaran" (QS 103:3).
Pada kali ini penulis akan
membicarakan masalah syariat pada sisi yang lain disamping yang sudah terpapar
mengenai bersyariat untuk memikirkan ayat-ayat kauniah. Penulis juga akan
mengungkapkan masuknya seorang mukmin sejati dalam bersyariat sehingga mencapai
kepada tingkat hakikat syariat secara transendental. Dimana pada kondisi ini
adalah bagaimana melaksanakan syariat dan merasakan keimanan yang sebenarnya
dengan tetap mengacu pada kontrol Al Qur'an dan Al hadist.
Imam Hasan Al Banna berkata di dalam
risalah ta'lim : Bagi iman yang tulus, ibadah yang benar serta mujahadah
(berjuang menundukkan hawa nafsu) melahirkan cahaya kelezatan yang Allah
limpahkan ke dalam hati siapa saja yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya.
Akan tetapi ilham, khowatir (lintasan-lintasan hati), kasyf
(penyingkapan rahasia ghaib) dan mimpi bukanlah merupakan dalil-dalil hukum
syariat dan tidak dianggap kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan
hukum agama dan nash-nash-Nya (nash dari Al Qur'an dan As Sunnah). Di dalam
menyikapi prinsip syariat, ada dua golongan/kategori yang termasuk di dalamnya,
yaitu :
Golongan pertama, golongan yang
mengabaikan cita rasa yang terkandung dalam syariat, atau mereka menilai
sesuatu secara lahiriah saja tanpa melihat kepada pengertian sesungguhnya, yang
mana mereka/golongan ini mengingkari pengaruh apapun yang timbul dari iman yang
dalam, ibadah yang benar, serta ketulusan dalam bermujahadah di dalam
mencemerlangkan akal dan memberi hidayah kepada hati.
Golongan kedua, yaitu golongan orang
yang di dalam melaksanakan ibadah (bersyariat), tidak hanya sampai kepada makna
lahiriah saja, tetapi perhatian terhadap penghadapan jiwa secara hanif (lurus)
dan sungguh-sungguh dalam berjuang melumpuhkan hawa nafsu. Di dalam hadist
shahih, Rasulullah SAW bersabda :
"Akan dapat merasakan makanan iman
ialah : orang yang ridho terhadap Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai
agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya" (HR Muslim dari Al Abbas).
Sufyan bin usyainah pernah ditanya
"Mengapakah ahlul ahwa (yang bergelimang dalam nafsu) itu begitu kuat
cintanya kepada nafsunya ?" Sufyan menjawab : "Apakah engkau lupa
firman Allah yang mengatakan :
"Dan mereka itu telah
dimesrakan dalam hati-hati mereka untuk menyembah anak lembu dengan kekufuran
mereka" (QS 2:92).
Setiap peribadatan yang apabila kita
lakukan dengan syarat sungguh-sungguh akan mendapatkan dampak kepada hati
berupa kesejukan dan kemudahan untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang dirihoi
Allah SWT. Dan sebaliknya apabila kita melakukannya dengan sekedarnya saja atau
hanya memenuhi syarat sahnya syariat, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa
kecuali rasa penat dan jenuh. Sehingga terasa sekali di hati kekakuan dan
kecongkakkan yang dengan tetap bersimbulkan keIslaman. Maka jadilah budaya kita
adalah budaya Islam yang kaku dan jauh dari sifat kasih sayang serta kebusukan
hati yang diseliputi bungkus syariat Islam. Kenyataan ini hendaknya kita
koreksi, bagaimana sikap orang mukmin terhadap sesama, dan bagaimana mereka
bila disebut asma Allah.... lalu bergetar serta tersungkur dan menangis tak
tertahankan.
Di dalam Al Qur'an banyak dijelaskan
ciri-ciri seorang mukmin sejati. Yang seharusnya menjadi acuan dalam hidup kita
dalam melakukan peribadatan kepada Allah SWT. Bukannya lantas takluk kepada
kekalahan terhadap nafsu. Yang akhirnya kita tetap berkubang dalam kecintaan
terhadap bimbingan setan yang sesat.
Kesulitan hati dalam merasakan
nikmat Allah berupa kelezatan iman. Cemerlangnya hati, kekhusu'an serta berbuat
baik. Ini disebabkan ada bisikan pembimbing yang setia setiap saat dalam
melakukan kekejian dan kemungkaran, yaitu setan laknatullah. Sebagaimana
dicantumkan dalam Al Qur'an surat Az Zukhruf ayat 36 :
"Barang siapa yang berpaling
dari dzikir kepada yang maha pemurah, kami adakan baginya setan (yang
menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya" (QS 43:36).
Sedangkan dalam surat Al Mujaadilah
ayat 19 Allah berfirman :
"Telah dikerasi mereka oleh
setan, maka setan itu telah menjadikan mereka lupa kepada menyebut Allah"
(QS 58:19).
Dilanjutkan dalam surat An Nisaa' ayat 142 tercantum, artinya :
"Mereka gemar memperlihatkan
amalan-amalannya kepada manusia ramai dan mereka tiada menyebut Allah kecuali
hanya sedikit" (QS 4:142).
Juga dalam surat An Nuur ayat 21 ,
artinya :
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti
langkah-langkah setan itu menyuruh perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya
tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian niscaya tidak
seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha mendengar
lagi maha mengetahui" (QS 24:21).
Setelah melihat dengan jelas
keterangan Al Qur'an mengenai betapa setan merupakan penyebab utama dalam mengarahkan
manusia untuk berbuat keji dan mungkar, sehingga manusia tidak lagi mampu
berbuat yang diperintahkan Allah. Namun demikian Allah menjelaskan dalam Al
Qur'an bahwa Allah sendirilah yang akan mengangkat manusia ketika manusia dalam
perangkap setan. Kita tidak akan mampu menolak ajakan setan sebab mereka berada
dalam pusat hati kita, kita bagaikan terpengaruh hipnotis dimana selalu
menuruti apa yang diperintahkan setan. Maka jadilah kita orang yang selalu
dalam bimbingan setan. Hati kita menjadi keji tanpa harus melalui proses
berpikir. Rasa jahat itu muncul seketika dalam hati dan merasakan sulitnya
berbuat kebajikan. Akan tetapi kekuatan atas kesungguhan dalam menghayati
perilaku syariat mengakibatkan si pelaku menemui hakikat (kebenaran) dari apa yang
dilakukan selama ini. Seperti diungkapkan Al Qur'an surat Al 'Ankabuut ayat 45
mengenai shalat :
"bahwa sesungguhnya shalat itu
mencegah perbuatan keji dan mungkar" (QS 29:45 ).
Pemahaman atas ayat tersebut adalah
bahwa shalat merupakan alat pencegah dari segala perbuatan buruk. Satu hal yang
akan penulis kedepankan dalam memperhatikan masalah shalat, adalah bagaimana
kita menghayati dan meluruskan jiwa kita dalam menghadap kepada yang
menciptakan langit dan bumi dengan tidak sedikitpun kesyirikan dalam hati
maupun pikiran kita. Kehadiran hati, perasaan serta dialog yang telah
disyariatkan. Apabila si pelaku tadi melakukannya dengan totalitas tinggi (kaffah),
maka ia akan mendapatkan karunia ketidakmampuan berbuat keji dan mungkar, serta
akan dimudahkan untuk selalu bersikap baik. Karena di dalam hati orang itu
sudah timbul perasaan ihsan yang terus-menerus terhadap Allah. Syariat tidak
lagi menjadi beban si pelaku. Tetapi merupakan energi bagi kehidupan serta
menjadi alat komunikasi yang indah untuk selalu berdialog dalam doa.
Ketidak-mampuan dalam melakukan
perbuatan keji dan mungkar adalah merupakan karunia Allah, merupakan kenyataan
(hakikat). Si pelaku tidak lagi merasa tertekan dan terbebani syariat yang
begitu banyak.
Berdasarkan keterangan di atas, maka
kecintaan terhadap perbuatan keji dan mungkar itu hanya dapat diatasi dengan
membawakan hati tersebut agar selalu teringat kepada Allah serta mengihklaskan
hati kita hanya untuk Allah. Sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yuusuf
ayat 24 :
"Sesungguhnya wanita itu telah
bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikian itu karena hendak memalingkan yusuf dari perbuatan jahat dan
keji, karena sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba yang ikhlas" (QS
12:24).
Allah telah mengisyaratkan pada
ayat-ayat di atas bahwa kita tidak akan mampu beribadah dengan baik atau
melakukan syariat yang begitu banyak, rasanya mustahil kita memenuhi
aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, kecuali atas karunia dan
bimbingan-Nya. Dan untuk mendapatkan bimbingan serta inayah Allah kita
diharapkan memasrahkan diri setiap saat dalam segenap keadaan, dengan cara
mengingat Allah baik pagi maupun petang, serta mengikhlaskan setiap peribadatan
hanya untuk Allah semata. Begitulah Allah memalingkan nabi Yusuf dari perbuatan
tercela dengan menuntun dan dan mencabut rasa keji dan mungkar di hatinya.
Padahal saat itu kedua belah pihak antara nabi Yusuf dan Siti Zulaiha sudah
saling menginginkan, namun nabi Yusuf berserah diri kepada Allah untuk
mendapatkan burhan (penerang) dari Allah. Atas dasar keikhlasan dan
pemasrahan yang kuat kepada Allah, akhirnya nabi Yusuf mendapatkan karunia
terlepas dari ajakan setan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar