Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga
Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
Ditulis pada 17
Januari 2008 oleh orang terlupakan
Oleh edya mardiana
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah
Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten,
DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari
agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal
(baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan
adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan
keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah
satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya,
dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan
(Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah
lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua
aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam
proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya
yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di
antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber
asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering
banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal.
Kondisi seperti ini sangat memmbingungkan dan meragukan setiap orang yang
ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan
tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan
mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran
ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian
diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah
sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang.
Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat
dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana
proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut
berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan
yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung
secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan
Sayyidina Ali” atau cerita tentang “
Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi
Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini
msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog.
Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan
dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa
Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang
terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah
Babad Cirebon, naskah
Wangsakerta, Babad Sumedang, dan
Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses
perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton,
benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus
mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk
cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat
(Garut),
Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang),
dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnyadi sekitar area maqam-maqam itu sering
ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam
atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh,
tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan
tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti
Babad Cireboni) bahwa
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama
penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu
Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran
(Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut
sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan,
Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang.
Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyi Ratu Mas Rara Santang, sang adik
Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walng Sungsang), Rara santang, dan Kian Santang
merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyi Subang Larang,
seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa
pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia
masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan
di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan
kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya
Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih
dipegang oleh kakak ayahnya (
ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyi Subang Larang telah
memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia
adalah putera Syeikh Yusuf Sidiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang
menjadi bagian dari
Vietnam
bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama
armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti
Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama
Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (
laqab) Syeikh Qura.
Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga
pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu
muncul pondok pesantren di Amparan Djati daerah gunung Djati (Syeikh Nur
Djati). Setelah Syeikh Nurul Djati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan
Djati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal
Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren
terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau
Lebe Musa atau Lebe
Usa,
cicitnya. Dalam sumber lisan Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong,
salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman,
1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka
Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyi Rara
Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya
(Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di
lingkungan istana. Dalam cerita
Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana
(Walangsungsang) dan Nyi Rara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu
Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih
untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya.
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Rara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk
berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan
Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samdullah. Mula-mula ia
berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyi
Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datu Kahfi (Syeikh Idhofi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang-Alang
membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir.
Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka
atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445
M). Kemudian darah pemukiman baru itu diberi nama
Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini
diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak
udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian
penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan
terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng
Alang-Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar
Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir
Cirebon) telah menjadi kawasan
paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah
penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164
wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung
4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang,
dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir
Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana
(Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan
sebuah mesjid yang diberi nama
Sang Tajug Jalagrahan (
Jala artinya
air;
graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar
Sunda dan didirikan di pesisir laut
Cirebon.
Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek
Cirebon menjadi mesjid
Pejalagrahan.
Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas
makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (
padukuhan; Sunda) baru
di pesisir
Cirebon,
pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan
Nyi Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, yaitu seorang penguasa
(sultan)
kota
Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan
keturunan Nabi Muhammad saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan
dan keelokan Nyi Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji,
Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyi Mas Lara Santang
mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyi Mas Larasantang
dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran
Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia
belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal
di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke
Baghdad
mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke
Cirebon, kakeknya dari
pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Djati atau Ki Gedeng Tapa meninggal
dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah
pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta
kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membwa harta warisannya ke
pemukiman pesisir
Cirebon.
Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah
keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama
Keraton
Pakungwati. Dengan berdirinya
Keraton Pakungwati berarti berdirilah
sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama
Nagara Agung Pakungwati
Cirebon atau dalam bahasa
Cirebon
disebut dengan sebutan
Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di
Cirebon,
ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang.
Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (
ngistrenan; Sunda)
pangeran Cakrabuana menjadi raja
Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar
Abhiseka
Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima
Pratanda atau
gelar keprabuan (
kalungguhan kaprabuan) dan menerima
Anarimakna
Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini
jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justru bersikap
rasika
dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang
memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang
pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran
Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia
merupakan Kakak Nyi Mas Larasantang dan Kian santang, dan ketiganya merupakan
anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (
ua;
Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati). Ia dimakamkan di gunung
Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (
panyaweran; Sunda)
Sunan Gunung Djati.
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu
tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan
dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan,
sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam
tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung.
Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam
di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu
ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini.
Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang
dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan
ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan
mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan
penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan,
tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian
Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok
Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah
merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang
membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang
sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang
menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris
itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang
diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4)
Babad
Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat
mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang
bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak
mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu
Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah
putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan
setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan
bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan
mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa
Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek
moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa
sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran
adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah
Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa
ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang
sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah
Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut
bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang
syeikh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika
sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat;
bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya
dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa
Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia
diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan.
Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an
yang ada di balubur Limbangan, sebuah
skin (pisau Arab) yang berada di
desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja,
dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari
Cirebon yang pergi ke
Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama
Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan
bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11
orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti
(Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu
Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung,

Panengah, 9) Santuwan Suci, 10)
Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang
merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah
Cirebon dan merupakan
seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan
dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa
pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang
masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan
Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu
Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata
menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura
Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari
Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang,
salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari
Pangeran Walangsungsang, Ratu Rara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah
seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai
menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia
adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir
Pajajaran. Ia berasal dari wilayah
Cirebon
(Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan
Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan
(Priangan) dan Godog
, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat
penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan).
Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang
menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan
India.
Mula-mula Kian Santang mengIslamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh
Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu
Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande
Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri
adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut
Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah
al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak
sekin yang bertuliskan lafadz
al-Qur’an
la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat
berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya
yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1)
Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam
Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan
Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak
oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah
Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam
generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut
Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung
Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan,
Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti
Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji,
Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif
Abdullah, seorang penguasa
kota
Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim
atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin
(buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali
Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul
Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan
Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali
kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi
penguasa (wali
kota)
Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan
Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Djati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang
lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat
itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan
Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab
tasawuf,
al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup
pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung
kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di
Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta
kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif
Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang
dilaluinya. Di Gujarat
India,
ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di
Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya.
Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah
Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal
selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid
Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali
Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di
sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam
bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih
merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang
tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas
Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan
perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru
agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam
“kepala” di
Cirebon.
Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah
selatan menuju dayeuh (puseur
kota)
Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat
pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda
dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (
ua; Sunda)
dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda,
puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali
Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda
yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di
Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja
(lihat Didi Suryadi,
Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan
kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif
Hidayatullah sebagai sultan
Cirebon
yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah
tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil
alih kembali
Cirebon.
Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama.
Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita
(pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan
darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya
Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih
payah putera
darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari
tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan
kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa
yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar
Sanghyang. Pangeran
Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan
Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M,
berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja
sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata
masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah
diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari
Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang
Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan
kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan
Cirebon.
Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah
Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda
Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini
diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak
berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan
cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa.
Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu
sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran
Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama
terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan
menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena
Faletehan selain menikah dengan ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan
Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang
gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan
Cirebon, maka Faletehan
memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena
itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka
Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di
Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran
Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di
tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran
Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di
Cirebon
ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra
Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan
menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya
berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia
dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana
Gunung Djati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran
Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam
di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI
Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa
kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk
penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir
utara
Cirebon
adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau
Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam
Pakungwati.
Ia adalah
ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu
Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun
1425, dua puluh
lima
tahun sebelum lahir Sunan Gunung Djati dan Mualana Syarif Hdiyatullah. Ia mulai
menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar
Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif
Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah
Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih
(Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati adalah nama tokoh
yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha
menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.
Kujang; Ajimat Raja Pasundan
ebagai informasi gratis mengenai senjata tradisional masyarakat budaya Indonesia
kedua adalah Kujang, ya kujang adalah salah satu senjata tradisional masyarakat
sunda, yang memiliki nilai budaya yang cukup diperhitungkan oleh para pengamat
budaya. Kujang satu-satunya senjata yang hanya dimiliki oleh masyarakat sunda,
untuk itu marilah kita ketahui lebih jauh senjata yang satu ini.
Dengan tetap menyisip pesan; tersaji bukan untuk dipuji apalagi dihina
melainkan tersaji untuk diketahui dan diperbaiki.
Dari judulnya sudah terbersit dalam ingatan bahwa kujang adalah senjata
tradisional provinsi Jawa Barat. Senjata ini kenapa dikenal dengan nama Kujang,
karena hampir mirip Bentuknya dengan sabit atau celurit. Namun, ada kelainan
pada bagian punggungnya yang berlubang. Mulanya senjata ini dipergunakan pada
abad ke-4 sebagai alat kebutuhan pertanian. Akan tetapi pada pada abad ke-9
masehi, nilai kujang menjadi sakral. Pada masa ini, kujang dipergunakan sebagai
senjata pusaka oleh Raja-raja di tanah Pasundan. Senjata ini diyakini memiliki
kekuatan magis, dan sanggup memberi wibawa dan kesaktian bagi pemiliknya.
Kujang adalah senjata yang penuh dengan misteri. Dikatakan demikian
karena banyak yang meyakini di dalam Kujang terdapat sebuah kekuatan magis dan
sakral. Bagi kebanyakan
orang-orang Sunda, Kujang dianggap tak sekadar senjata biasa. Melainkan senjata
yang memiliki “kekuatan lain” di luar nalar manusia. Bagi orang-orang Sunda
yang tak meyakini adanya kekuatan lain (gaib) dibalik Kujang pun, pasti akan
memperlakukan Kujang dengan istimewa. Setidaknya menghargai Kujang sebagai
hiasan rumah, bahkan cinderamata. Di sinilah nilai kewibawaan senjata Kujang dibuktikan.
Kujang memang memiliki nilai-nilai filosofi bagi orang-orang Sunda Kuno.
Dan proses penciptaannya sangat berkait erat dengan kebutuhan akan kekuatan
lain dari sebuah senjata. Muasal Kujang sendiri sebenarnya terinspirasi dari
sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara luas pada
abad ke-4 sampai dengan abadke-7 Masehi. Ketika itu bentuknya lebih mendekati
figure arit atau celurit. Barulah pada abad ke-9, wujud Kujang mulai berwujud
seperti yang kita lihat sekarang. Sejak itulah image masyarakat soal Kujang
telah berubah.
Azimat Raja-Raja
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam
sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu
Kudo Lalean. Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja
dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu
ketika, Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang
prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini
dipergunakan sebagai alat pertanian.
Anehnya, desain terbaru yang ada di benak sang Prabu, bentuknya mirip
dengan Pulau “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai Pulau Jawa pada masa kini.
Nah, setelah mendapat ilham itu, segera prabu Kudo Lalean menugaskan Mpu Windu
Supo, seorang pandai besi dari keluarga kerajaan. Ia diminta membuat mata pisau
seperti yang ada di dalam pikiran sang Prabu. Mulanya, Mpu Windu Supo gusar
soal bentuk senjata yang mesti dibuatnya. Maka sebelum melakukan pekerjaan, Mpu
Windu Supo melakukan meditasi, meneropong alam pikiran sang prabu. Akhirnya
didapatlah sebuah bayangan tetang purwa rupa (prototype) senjata seperti yang
ada dalam pikiran Kudo Lalean.
Setelah meditasinya usai, Mpu Windu Supo memulai pekerjaannya. Dengan sentuhan-sentuhan
magis yang diperkaya nilai-nilai filosofi spiritual, maka jadilah sebuah
senjata yang memiliki kekuatan tinggi. Inilah sebuah Kujang yang bentuknya
unik, dan menjadi sebuah objek bertenaga gaib. Senjata ini memiliki 2 buah
karakteristik yang mencolok. Bentuknya menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3
lubang di suatu tempat pada mata pisaunya. Inilah sebuah senjata yang pada
generasi mendatang selalu berasosiasi dengan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan.
Bentuk Pulau Jawa sendiri merupakan filosofi dari cita-cita sang Prabu, untuk
menyatukan kerajaan-kerajaan kecil tanah Jawa menjadi satu kerajaan yang
dikepalai Raja Padjadjaran Makukuhan.
Sementara tiga lubang pada pisaunya melambangkan Trimurti, atau tiga
aspek Ketuhanan
dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalea. Tiga aspek Ketuhanan
menunjuk kepada Brahma, Vishnu, dan Shiva. Trinitas Hindu (Trimurti) juga
diwakili 3 kerajaan utama pada masa itu. Kerajaan-kerajaan itu antara lain
Pengging Wiraradya, yang berlokasi di bagian Timur Jawa; Kerajaan Kambang
Putih, yang berlokasi di bagian Utara Jawa, dan Kerajaan Padjadjaran Makukuhan,
berlokasi di Barat.
Berubah Bentuk
Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model
yang berbeda bermunculan. Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang
telah mengalami reka bentuk menyerupai huruf Arab “Syin”. Ini merupakan upaya
dari wilayah Pasundan, yakni Prabu Kian Santang, yang berkeinginan
meng-Islamkan rakyat Pasundan. Akhirnya filosofi Kujang yang bernuansa Hindu
dan agama dari kultur yang lampau, direka ulang sesuai dengan filosofi ajaran
Islam. Syin sendiri adalah huruf pertama dalam sajak (kalimat) syahadat dimana
stiap manusia bersaksi akan Tuhan yang Esa dan Nabi Muhammad sebagai
utusan-Nya. Dengan mengucap kalimat syahadat dan niat di dalam hati inilah,
maka setiap manusia secara otomatis masuk Islam.
Manifestasi nilai Islam dalam senjata Kujang adalah memperluas area mata
pisau yang menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model
terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada
Islam dan ajarannya. Lima
lubang pada Kujang telah menggantikan makna Trimurti. Kelima lubang ini
melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam). Sejak itulah model Kujang
menggambarkan paduan dua gaya
yang didesain Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang. Namun wibawa Kujang
sebagai senjata pusaka yang penuh “kekuatan lain” dan bisa memberi kekuatan
tertentu bagi pemiliknya, tetap melekat.
Dalam perkembangannya, senjata Kujang tak lagi dipakai para raja dan kaum
bangsawan. Masyarakat awam pun kerap menggunakan Kujang sama seperti para Raja
dan bangsawan. Di dalam masyarakat Sunda, Kujang kerap terlihat dipajang
sebagai mendekorasi rumah.
Konon ada semacam keyakinan yang berkait dengan keberuntungan, perlindungan,
kehormatan, kewibawaan dan lainnya. Namun, ada satu hal yang tak boleh
dilakukan. Yakni memajang Kujang secara berpasangan di dinding dengan mata
pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabuatau
larangan. Selain itu, tidak boleh seorangpun mengambil fotonya sedang berdiri
diantara 2 Kujang dalam posisi tersebut. Kabarnya, ini akan menyebabkan
kematian terhadap orang tersebut dalam waktu 1 tahun, tidak lebih tapi bisa
kurang.(Waulahu’alam)